Minggu, 08 Mei 2011

Sanksi Berat BI ke Citibank Bikin Perbankan Kapok

Jakarta - Bank Indonesia (BI) memberikan sejumlah sanksi berat ke Citibank terkait kasus debt collector dan pembobolan dana nasabah. Ini dilakukan agar menimbulkan efek jera di industri perbankan.

Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta mengatakan, dengan sejumlah sanksi yang diberikan ke Citibank ini maka diharapkan perbankan bakal lebih patuh menjalankan aturan dan pengawasan internalnya.

"Kasus MD (Malinda Dee) dan wafatnya nasabah menunjukkan ada kelemahan dalam pengawasan internal bank. Bagi Perbankan (sanksi Citibank) akan memberikan efek jera dan peringatan," tutur Arif dalam keterangannya kepada detikFinance, Sabtu (7/5/2011).

Namun menurut Arif, beragam sanksi BI ke Citibank merupakan sanksi tahap pertama yang sangat berpengaruh terhadap reputasi Citibank.

"Sanksi yang diberikan oleh BI tentu saja adalah sanksi sementara, dan BI dalam hal ini cukup tegas walaupun mungkin sanksi ini masih bisa diperdebatkan berat ringannya sanksi tersebut," jelas Arif.

Dia menilai, ada kelemahan dalam pengawasan internal di Citibank sehingga menyebabkan tindakan pembobolan dana nasabah oleh Malinda Dee dan meninggalnya nasabah kartu kredit yang diduga akibat ulah debt collector.

Seperti diketahui, kemarin BI mengumumkan sejumlah sanksi yang cukup berat ke Citibank terkait dua kasus di atas.

Selain penghentian sementara akuisisi nasabah Citigold dan kartu kredit, ada sejumlah sanksi lain seperti larangan membuka cabang selama setahun, pemberhentian karyawan yang terlibat kasus pembobolan dana Citigold dan kartu kredit, sampai menonaktifkan sejumlah pejabat.

Durian Bisa Mengatasi Susah Tidur

Jakarta, Durian bisa jadi merupakan salah satu buah yang dibenci oleh beberapa orang karena baunya yang menyangat. Tapi ternyata salah satu kandungan dari buah durian bisa menghilangkan kegelisahan hingga mengatasi insomnia.

Konsumsi durian yang berlebihan memang bisa berbahaya bagi tubuh seperti meningkatkan kadar kolesterol dalam darah. Namun buah ini sebenarnya juga mengandung nutrisi lainnya seperti vitamin B, C, E dan zat besi.

Selain itu buah yang dikenal dengan julukan King of Fruits ini ternyata mengandung banyak asam amino yang bernama triptofan. Jenis asam amino ini diketahui bisa membantu mengurangi kecemasan, depresi hingga mengatasi insomnia, seperti dikutip dari Healtharena.net, Sabtu (7/5/2011).

Hal ini dikarenakan tingkat tinggi asam amino triptofan yang terkandung dalam buah durian bisa menimbulkan perasaan euforia dengan meningkatkan kadar serotonin di dalam otak. Jika seseorang sudah merasa tenang maka akan mudah baginya untuk beristirahat atau tidur.

Meski demikian seseorang tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi durian, tapi cukup konsumsi sebanyak 100 gram saja karena dalam 100 gram tersebut nutrisi yang didapatkan oleh seseorang sudah cukup.

Ahli gizi menganalisis setiap jenis durian memiliki nilai energi yang berbeda-beda antara 129-181 kalori per 100 gram durian. Namun pada durian yang memiliki rasa super manis, nilai kalorinya bisa meningkat. Misalnya jenis durian monthong diperkirakan dari 600 gram menghasilkan total kalori sebesar 978 kalori.

Di sisi lain, buah durian ini ternyata juga memiliki manfaat lagi selain untuk mengatasi kecemasan dan insomnia. Bagian yang bisa digunakan juga tak sebatas daging buahnya saja, namun mulai dari kulit hingga daunnya bisa bermanfaat.

Tapi jika setelah mengonsumsi durian tubuh justru merasa tidak enak atau menjadi pusing, maka coba dicek lagi berapa banyak durian yang sudah dikonsumsi dan apa yang dimakan bersamaan dengan durian tersebut.

APBN 2011 Bisa Jebol Ladeni Harga Minyak Dunia

Jakarta - Pemerintah ngotot anggaran pendapatan belanja negara (APBN) dapat menopang beban subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), akibat fluktuasi harga minyak dunia, namun hal ini tidak bisa dipertahankan selamanya.

Jika ICP kembali cetak rekor baru, diatas US$ 120-130 per barel, maka subsidi membengkak dan mengorbankan pos belanja lain yang lebih penting, seperti pendidikan, pembayaran beban utang dan belanja gaji pegawai.

Hal ini disampaikan Ekonom Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri dalam perbincangan dengan detikFinance, Minggu (8/5/2011).

"Apa tidak mungkin harga minyak kembali ke level US$ 120 (per barel)? Apalagi energi nuklir di Jepang tidak boleh lagi, hingga mereka butuh banyak energi minyak dan gas. Belum lagi Timteng tidak jelas, dan menjadikan harga minyak berfluktuasi," terangnya.

Menurutnya jika harga minyak dunia kembali ke level US$ 120 per barel, makan porsi subsidi menjadi Rp 211 triliun. Angka ini membengkak dari anggaran sebelumnya. Saat pemerintah mempertahankan beban subsidi yang diambil dari APBN, maka pos anggaran lain wajib di tata ulang.

"Dengan total APBN Rp 1.000 triliun, maka 20% untuk minyak (subsidi BBM). Belum lagi pembayaran beban utang, 20%, gaji 20-25%, subsidi untuk rakyat miskin?," tambahnya.

Atas ilustrasi diatas, sudah sepantasnya pemerintah melakukan langkah konkrit berupa pembatasan BBM subsidi atau bahkan melakukan pencabutan. Pemerintah tidak bisa lagi beralasan bahwa APBN aman karena rupiah yang terus menguat.

"Kalau pada level ini, iya APBN masih terjaga. Tapi pertanyaannya, apa BI (Bank Indonesia) akan terus membiarkan rupiah terus menguat? Nanti bisa jadi, impor menjadi lebih murah dan ekspor nggak bisa jual. Nanti industri domestik akan teriak," tuturnya.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyebut anggaran negara masih kuat menahan kenaikan harga minyak. Hal ini didukung oleh penguatan nilai tukar rupiah yang kini menembus level Rp 8.600 per US$. "APBN masih memadai apalagi saat ini nilai tukarnya menguat," kata Agus.

Karena itu opsi kenaikan harga BBM masih bisa ditahan oleh pemerintah. Agus juga mengatakan, pemerintah tengah mempelajari kemungkinan kuota BBM bersubsidi bakal membengkak dari target 38,5 juta KL di 2011 ini.

Omset Bisnis Bioskop Melorot Pasca Kisruh Film Impor

Jakarta - Para pemilik bioskop mengaku mengalami penurunan omset pasca kisruh soal pajak royalti impor film. Mereka mengklaim penghasilan bisnisnya rata-rata turun hingga 50%.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Johny Syafrudin mengatakan biskop Indonesia terancam guling tikar dalam kurun waktu dua bulan mendatang. Hal ini terjadi jika tidak ada kejelasan pemerintah terkait pengaturan royalti dalam perhitungan bea masik impor film, serta pajak-pajak lainnya.

Meskipun ia mengatakan pelaku bioskop tak terlalu mempersoalkan merosotnya penghasilan mereka. Namun kata Johny, realita lain yang harus dilihat pemerintah adalah banyak sektor yang terkena dampak negatif, mulai dari pusat belanja, hingga industri makanan minuman mulai dari kafe hingga restoran.

"Bioskop kekurangan film berkualitas. Saya sudah dapat laporan, Jawa Tengah penghasilan merosot 50%. Nasional juga bisa dipastikan. Untuk film nasioanal (kontribusi) tidak besar, hanya 20%," katanya kepada detikFinance, Minggu (8/5/2011)

Banyaknya potongan yang harus ditanggung film impor juga telah memangkas penghasilan pemilik bioskop hingga turun hingga separuh.

"Terlampau banyak pajak, pos-pos yang dipajaki tidak sesuai dengan sistem internasional. Kalau dibiarkan selama dua bulan ke depan, tak tahu apa yang terjadi, bisa tutup," ungkapnya.

Menurutnya, beban dari film impor semakin memperlambat pertumbuhan industri film di Indonesia. Selain ada royalti pertunjukan, film impor juga masih harus membayar pajak daerah sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta pembebanan bea masuk impor film.

"Kebijakan pemerintah tidak jelas sampai saat ini. Amerika masih menahan. Nasional penghasilan merosot 50%, sebelumnya mencapai 80% jadi saat ini tinggal 40%," tambahnya.

Batasan kriteria No. 3 dan No. 4 PSAK No. 30 (Revisi 2007) berkaitan dengan pengklasifikasian transaksi Leasing

Batasan criteria No.3 dan No.4 PSAK No.30 (revisi 2007) berkaitan dengan pengklasifikasian transaksi leasing

Seperti yang telah kita ketahui, para. 10 PSAK No. 30 (Revisi 2007) memberikan contoh dari situasi yang baik secara individual maupun gabungan dalam kondisi normal menunjukkan bahwa transaksi leasing yang terjadi diklasifikasikan sebagai Sewa Pembiayaan (Finance/Capital Lease), yaitu :
1. sewa mengalihkan kepemilikan aset kepada lessee pada akhir masa sewa;
2. lessee mempunyai opsi untuk membeli aset pada harga yang cukup rendah dibandingkan nilai wajar pada tanggal opsi mulai dilaksanakan, sehingga pada awal sewa dapat dipastikan bahwa opsi memang akan dilaksanakan;
3. masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset meskipun hak milik tidak dialihkan;
4. pada awal sewa, nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan; dan
5. aset sewaan bersifat khusus dan di mana hanya lessee yang dapat menggunakannya tanpa perlu modifikasi secara material.
Jika kita perhatikan kelima kriteria di atas, untuk kriteria ketiga dan keempat sepertinya PSAK No. 30 (Revisi 2007) tidak memberikan penjelasan memadai. Adapun masalah yang saya temukan sebagai berikut :
Untuk kriteria ketiga dimana dipersyaratkan bahwa masa sewa adalah untuk sebagian besar umur ekonomis aset. Yang dimaksud dengan ‘untuk sebagian besar umur ekonomis aset’ itu bagaimana batasannya ?
Jika kita membaca dari PSAK No. 30 (Revisi 2007) maupun IFRS/IAS 17 (2003) tidak menjelaskan batasan dari kriteria tersebut. Namun, jika kita mengacu ke pengaturan menurut US GAAP yaitu SFAS No. 13 Accounting for Leases, dalam para. 7c dijelaskan bahwa :
The lease term is equal to 75 percent or more of the estimated economic life of the leased property.
Jadi, kalau menurut US GAAP, yang dimaksud dengan sebagian besar umur ekonomis aset adalah meliputi minimal 75% dari umur ekonomis aset sewa.
Selanjutnya, untuk kriteria keempat yaitu pada awal sewa nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan, dimana PSAK No. 30 (Revisi 2007) maupun IAS 17 (2003) juga tidak menjelaskan batasan dari ‘secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan’ tersebut. Sedangkan, jika kita mengacu ke SFAS No. 13 dalam para. 7d dijelaskan bahwa :
The present value at the beginning of the lease term of the minimum lease payment, excluding that portion of the payments representing executory costs such as insurance, maintenance, and taxes to be paid by the lessor, including any profit thereon, equals or exceeds 90 percent of the excess of the fair value of the leased property to the lessor at the inception of the lease over any related investment tax credit retained by the lessor and expected to be realized by him.
Berdasarkan pernyataan tersebut bisa diperoleh gambaran bahwa US GAAP memberikan batasan untuk kriteria nilai kini dari jumlah pembayaran sewa minimum secara substansial mendekati nilai wajar aset sewaan yang ditentukan pada awal sewa adalah minimial sama dengan 90% dari nilai wajar aset sewaan.
Demikian sedikit penjelasan berkaitan dengan kriteria No. 3 dan No. 4 dari para. 10 PSAK No. 30 (Revisi 2007) berkaitan dengan pengklasifikasian transaksi leasing sebagai Sewa Pembiayaan atau Sewa Operasi.

review jurnal

1. LATAR BELAKANG DAN LANDASAN TEORI

Lebih dari seratus milyar dolar diperkirakan oleh berbagai sumber sebagai jumlah uang yang berlaku dari penangguhan / LIFO cadangan karena penggunaan terakhir, (LIFO) sebagai metode akuntansi yang digunakan untuk penilaian persediaan. Ketika LIFO digunakan, barang yang dijual adalah yang terakhir dibeli dan barang yang tersisa di persediaan pada akhir periode. Alasan bahwa metode ini digunakan adalah pencocokan pendapatan (barang dagangan yang dijual) selama periode akuntansi terbaru dengan biaya pembelian barang terbaru yang diperoleh. LIFO digunakan pada saat harga meningkat dan hal tersebut menciptakan efek nilai dari barang dagangan, biaya yang terakhir dibeli tinggi, bila dibandingkan dengan metode penilaian persediaan lain, seperti (FIFO) dan biaya rata-rata, adalah bahwa item biaya yang lebih tinggi termasuk dalam harga pokok penjualan, sedangkan barang dagangan, biaya yang lebih besar lebih rendah akan tetap dinilai dalam persediaan. Pengaruh bagian bawah menggunakan LIFO itu adalah penilaian persediaan yang lebih rendah, biaya pokok penjualan yang lebih tinggi dan perhitungan laba bersih dan kena pajak lebih rendah.

Banyak perusahaan besar menggunakan LIFO, terutama di industri sumber daya alam, seperti minyak dan gas. Milyaran dolar pajak penghasilan telah ditangguhkan oleh perusahaan-perusahaan publik yang sangat besar. Namun, bisnis di Amerika Serikat kecil akan terkena dampak, jika Kongres AS mencabut atau membatasi penggunaan metode akuntansi persediaan LIFO. Undang-undang pajak AS, yang saat ini sedang diusulkan oleh pemerintahan Obama dan sedang dipertimbangkan oleh Kongres. Argumen yang dibuat bahwa kompetisi asing akan memiliki keuntungan besar atas perusahaan-perusahaan AS di pasar, jika LIFO tidak diizinkan untuk dipilih. Beberapa industri, dengan sifat mereka, harus menahan persediaan mereka untuk waktu yang lama. Menggunakan LIFO secara wajar dan adil untuk mengenali masalah-masalah khusus seperti bisnis dengan pesaing mereka yang non-US. Hal ini juga berdampak pada perkebunan anggur, sumber daya alam (minyak, gas, dll) dan industri sejenis yang akan terpengaruh, tetapi juga setiap bisnis lain yang mempertahankan persediaan untuk jangka waktu yang lama, seperti industri ruang aero dan lainnya. LIFO penerapannya sangat unik, karena perusahaan dapat memilih untuk menggunakan metode itu sepanjang mereka menggunakannya baik untuk tujuan laporan keuangan dan untuk tujuan pendapatan perpajakan. Cara lain untuk menggambarkan LIFO adalah bahwa metode ini mengasumsikan bahwa barang yang dibeli pertama membuat persediaan entitas ‘pada akhir tahun. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, jika harga-harga naik (yaitu inflasi), LIFO mengalokasikan biaya yang lebih tinggi untuk barang dagangan yang dijual, yang mengurangi pendapatan sekarang (baik untuk tujuan keuangan dan pajak) dan menghitung nilai yang lebih rendah untuk persediaan pada akhir periode akuntansi. Topik utama dari presentasi ini difokuskan pada konvergensi IFRS dan GAAP, akuntansi dan implikasi pajak yang berkaitan dengan LIFO. Ada berbagai argumen dari berbagai pandangan, orang-orang yang menentang pencabutan LIFO, terutama dari sisi pajak. Mereka yang mendukung pencabutan sebuah berpendapat bahwa LIFO tidak memiliki nilai sebagai alat manajemen dan hanya berfungsi untuk memotong kewajiban pajak untuk sejumlah perusahaan relatif kecil. Mereka berpendapat bahwa pencabutan LIFO membuat tarif pajak yang berlaku pada persediaan dibandingkan dengan yang di mesin, peralatan, bangunan dan aset tetap lainnya dan bahwa pencabutan persediaan akan melemahkan. Selain itu, mereka percaya saat inflasi, FIFO pajak mewakili keuntungan perusahaan yang berpengaruh pada perubahan tingkat harga, bukan keuntungan ekonomi yang rendah dan LIFO mungkin merupakan pendekatan yang lebih baik dari pendapatan ekonomi riil. Akhirnya, mereka yang mendukung suatu titik pencabutan bahwa LIFO tidak diizinkan di bawah Standar Pelaporan Keuangan Internasional (IFRS).

2. METODE RISET

Pembangunan Distributor Peralatan Industri melakukan survei tentang penggunaan LIFO tahun lalu melalui informasi yang diperoleh dari Asosiasi Distributor Peralatan. Survei menyimpulkan bahwa pencabutan LIFO akan memukul jumlah industri negatif. Konsisten dengan survei sebelumnya, tiga puluh tiga (33%) persen dari responden melaporkan menggunakan LIFO nilai persediaan mereka (laporan 33% digunakan FIFO, 26% digunakan biaya rata-rata, dan 8% menggunakan beberapa metode akuntansi yang lain). Enam puluh (60%) persen pengguna LIFO memiliki lebih dari 100 karyawan dan enam puluh tiga (63%). LIFO adalah metode akuntansi yang mapan dalam industri ini. Tujuh puluh tujuh (77%) persen dari perusahaan yang menggunakan LIFO telah melakukannya selama lebih dari 20 tahun, dan empat puluh sembilan (49%) persen telah menggunakan LIFO selama lebih dari 30 tahun. Rata-rata melaporkan cadangan LIFO responden survei menggunakan LIFO adalah Empat belas milyar Dolar pada awal 2009. Akhirnya, survei pada awal tahun 2009 juga menggambarkan dampak pencabutan LIFO luas akan pada distributor dan karyawan mereka dalam industri ini. Tiga puluh empat (34%) persen pengguna LIFO mengatakan bahwa mereka harus memberhentikan pekerja atau menghilangkan posisi, jika LIFO dibatalkan; tiga puluh tujuh (37%) persen mengatakan bahwa mereka harus mengurangi keuntungan, termasuk asuransi kesehatan; lima puluh empat (54%) persen mengatakan mereka kecil kemungkinannya untuk berinvestasi dalam teknologi baru dan peralatan; enam puluh sembilan (69%) persen mengatakan bahwa mereka akan lebih kecil kemungkinannya untuk memperluas armada sewa mereka, dan tiga puluh empat (34% ) persen mengatakan pencabutan LIFO akan mengancam kemampuan perusahaan mereka untuk bertahan hidup dalam lingkungan ekonomi saat ini.

3. HASIL PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Banyak orang telah mengambil posisi dari semua masalah yang menantang konvergensi IFRS dan GAAP, fakta bahwa IFRS tidak mengakui metode LIFO adalah yang paling signifikan, sejak larangan perusahaan publik dari menggunakan LIFO menciptakan baik laporan keuangan dan pajak penghasilan konsekuensi yang tidak hanya memerlukan persetujuan dan tindakan dari Dewan Standar Akuntansi Keuangan (FASB) di Amerika Serikat tetapi juga perubahan dalam hukum pajak AS oleh Kongres. Dalam hal apapun, hukum saat ini memungkinkan beberapa keadaan untuk alokasi empat tahun dari pembayaran kewajiban pajak penghasilan tangguhan, jika metode LIFO diberhentikan, akan memerlukan mungkin delapan sampai sepuluh tahun, jika tidak lagi, untuk meringankan beban keuangan perusahaan yang membuat perubahan ini, karena mereka kemungkinan besar tidak akan memiliki sumber daya ekonomi, terutama uang tunai, tersedia untuk memenuhi modal kerja dan mereka saat ini membutuhkan aset dan penggantian peralatan dan kebutuhan ekspansi dan juga untuk memenuhi penangguhan pembayaran kewajiban pajak penghasilan.

Sebuah survei yang dilakukan oleh American Institute of Certified Akuntan Publik (AICPA) pada 2008 menemukan 36% dari perusahaan AS menggunakan LIFO untuk setidaknya sebagian dari akuntansi persediaan mereka. Banyak profesional dan akademisi percaya bahwa LIFO menawarkan gambaran yang lebih akurat keuntungan oleh menyelaraskan biaya dengan pendapatan. Seperti hereinabove dinyatakan, LIFO akuntansi cocok untuk periode inflasi. Jika deflasi harus terjadi , menghapuskan LIFO bagi perusahaan yang diuntungkan oleh itu dalam / tahun inflasi ledakan, benar-benar akan menikmati perisai pajak atas keuntungan masa depan dari akuntansi baru metode yang akan menggantikan LIFO. Seperti hasil kebijakan, bisa disebabkan konsekuensi yang tidak diinginkan untuk mengakhiri metode LIFO.

makalah ifrs

CONVERGENCE OF INTERNATIONAL FINANCIAL REPORTING STANDARDS (IFRS) AND US GAAP: LAST-IN, FIRST-OUT (LIFO) METHOD: ACCOUNTING AND TAX IMPLICATIONS

Ament, Joseph D.

Professor-Accounting and Taxation

Walter E. Heller College of Business Administration

Roosevelt University

Chicago, Illinois

Proceedings of ASBBS

Volume 18 Number 1

ABSTRACT

FAS 157 requires firms to value all items in the financial statements at fair value. Lifo values the inventory at the oldest market prices, resulting in higher cost of goods sold and lower net income and deferred income tax liability.

The convergence of International Financial Reporting Standards (IFRS) and Financial Accounting Standards Board (FASB) Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) is currently in process in regular monthly meetings with the objective of attaining a Summer 2011 deadline for resolution of all differences between International and US standards.

LIFO will be a major topic to be discussed and resolved because of the significant arguments of its use both for accounting and for taxation purposes.

Reporting cost of goods sold at fair market value would not appear to be consistent with “fair value” as set forth in FAS 157, since it would result in ending inventory being valued at historical costs, which in most situations would be substantially below current market values.

The Internal Revenue Code provides that to adopt LIFO as a tax accounting method, it must also be used as a financial accounting method for inventory valuation and financial statement purposes.

Various database information indicates that LIFO Reserves significantly exceed $100 Billion. If current US tax law were to remain in effect, a mandatory change from LIFO to a method approved by the convergence, would require a payment of the deferred tax liability/reserve over a period of four years to the Internal Revenue Service, a burden most corporations could not effectively meet within the framework of their operating budgets and expected growth. A proposal would apparently be required to call upon the Congress to amend the Internal Revenue Code to permit the payment of deferred income tax liability attributable to LIFO over, say, eight to ten years. Even under that scenario many companies would be hard pressed to meet all their liquidity needs for operations, growth, current tax liabilities, and capital expenditures. Certain industries have particularly benefitted by LIFO reserves and postponement of tax liabilities, such as the oil, petroleum and other natural resources, distilleries and other long-term assets held in inventory.

Major financial sources would be called upon in the banking and related industries to assist entities by lending to them and/or developing an equity stake in their businesses to provide substantial tax payments as a result of the termination of the LIFO method for accounting and tax purposes.