Sabtu, 13 Maret 2010

Dalam 6 Bulan Rupiah Bisa Tembus 9.000 ?

Dalam 6 Bulan
Rupiah Bisa Tembus 9.000?



Menjelang bulan terakhir pada kuartal pertama 2010, laporan data terkini masih menunjukkan pesatnya pertumbuhan ekonomi di Asia secara luas. Tingkat inflasi tetap terkendali dibandingkan perkiraan sebelumnya sehingga memberikan bahan pertimbangan baru bagi bank sentral untuk menunda kenaikan bunga.

Mengacu pada beberapa indikator dalam siklus ekonomi, ekspektasi tingkat inflasi saat ini masih belum berbahaya. Tergambar dari data core CPI year on year yang berkurang menjadi 3,9 persen pada Februari. Berbanding terbalik dengan tingkat inflasi utama tahun ke tahun sebesar 6-7 persen, seperti yang terlihat pada masa ekonomi ekspansif sebelumnya.

Catatan tersebut dapat dijadikan tolok ukur peningkatan produktivitas. Akan tetapi, di sisi lain, inflasi Indonesia dalam jangka pendek telah berkurang sehingga menekan risiko kenaikan suku bunga.

Sesuai perkiraan, rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia, minggu lalu, menetapkan tingkat suku bunga tidak berubah di level 6,5 persen. Pada saat bersamaan, otoritas moneter memublikasikan kebijakan untuk mendorong pertumbuhan kredit hingga 17 persen-20 persen pada 2010.

Disusul oleh pengumuman pemerintah bahwa tidak akan terjadi kenaikan harga BBM sebelum pertengahan tahun. Dengan berkaca pada faktor-faktor tersebut, kenaikan suku bunga Indonesia diperkirakan baru mungkin terjadi pada kuartal ketiga 2010.

Bank Indonesia sendiri menaikkan estimasi pertumbuhan ekonomi tahun ini menjadi 5,6 persen dari perkiraan sebelumnya pada angka 5,2 persen. Sejalan dengan berkurangnya ketergantungan pada ekspor dan lebih berorientasi pada sisi permintaan domestik yang masih tinggi.

Potensi apresiasi rupiah

Melimpahnya sumber daya alam disertai keyakinan konsumen yang masih tinggi saat ini akan menjadi katalis utama untuk menarik capital inflow ke dalam negeri.

Iklim politik yang stabil sejak akhir pemerintahan Orde Baru tahun 1998 juga dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi investor. Adapun imbal hasil obligasi yang masih kuat turut mengangkat nama Indonesia sebagai pasar teratraktif di Asia. Dengan demikian, tidak ada keraguan bahwa negeri ini layak menjadi tempat tujuan carry trade.

Pemerintah Indonesia sendiri menargetkan tercapainya peningkatan investasi asing sekitar Rp 2 triliun per tahun, memanfaatkan momentum pemulihan ekonomi global.

Berbagai variabel tersebut diharapkan dapat mendukung penguatan rupiah dalam beberapa bulan ke depan. Meski risiko pelemahan masih terbatas, ditopang oleh swap agreement secara bilateral dan multilateral. Namun, langkah-langkah bank sentral untuk menekan penyusutan cadangan devisa mampu meminimalisasi imbas dari capital outflow terhadap rupiah.

Analisis teknikal pada grafik bulanan USD/IDR menunjukkan harga telah menembus di bawah Moving Average 100-day (MA100)/rata-rata pergerakan 100 harinya di level 9.364. Anjlok di bawah level tersebut memberi sinyal beli rupiah terhadap dollar AS, setidaknya dengan target Fibonacci level berikutnya di area 9.060.

Kami memprediksikan bahwa rupiah masih berpotensi terapresiasi hingga ke level tersebut di jangka panjang. Dengan catatan, tidak ada kekacauan kondisi keuangan global baru yang memicu pengalihan risiko (risk aversion). Resisten terdekat ada di area 9.300, diikuti dengan 9.380-9.400.

Penembusan di atas level tersebut memicu risiko koreksi pelemahan rupiah lebih lanjut hingga setidaknya kisaran 9.660. Dari analisis fundamental dan teknikal, bukan tidak mungkin rupiah menyentuh level 9.000 pada kuartal kedua dan bahkan bisa di bawah level itu apabila tidak ada kejutan baru di pasar carry trade. (Albertus CK/Senior riset dan analis Monex)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar