Kamis, 22 April 2010

Saatnya Membeli Indonesia!

Jarak kota Santiago, Cile, dengan Jakarta kira-kira 15.617 kilometer. Namun, itu tidak menghalangi investor asal negara Amerika Latin tersebut untuk melirik peluang emas di Indonesia. Indonesia dijadikan negara ketiga terbesar untuk penempatan portofolio investor Cile itu.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap positif di saat negara lain didera krisis keuangan tahun 2008, inflasi juga rendah, indeks harga saham gabungan (IHSG) juga terus mendaki tinggi membuat

Kisah ini didaur ulang Sekretaris Perusahaan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Wahid Sutopo saat berbicara dalam ”Media Update tentang Membedah Kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN)” di Jakarta, Rabu (21/4/2010). ”Orang Cile tersebut mengatakan, dia hanya investasi di enam negara, dan Indonesia adalah ketiga terbesar dalam portofolionya. Bagi dia, Indonesia sedang dalam kondisi terbaik saat ini,” ujarnya.

”This is time to buy Indonesia,” kira-kira demikian tema nondeal roadshow yang akan dilakukan pemerintah dan PT Danareksa di Singapura, pekan depan. Tujuannya, menarik masuk modal asing sebanyak-banyak.

Sasaran utamanya, barangkali ada sebagian dari modal asing itu yang menetap agak lama di dalam negeri, antara tiga dan delapan tahun, dan bukan sekadar hit and run (keluar masuk pasar modal) demi laba maksimal.

Kapitalisasi pasar di Bursa Efek Indonesia (BEI) diharapkan akan menyentuh Rp 2.500 triliun pada akhir semester I-2010. Itu bukan tugas terlalu berat karena hingga triwulan I-2010, kapitalisasi pasar sudah mencapai Rp 2.300 triliun.

Dalam dua tahun ke depan, BEI menargetkan pertambahan perusahaan yang terdaftar di bursa (emiten) menjadi 500 perusahaan. Sampai sekarang jumlah emiten yang terdaftar di BEI hingga 405 perusahaan.

BEI juga menargetkan jumlah investor sebanyak 1 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sekitar 2,3 juta investor sehingga nilai kapitalisasinya mencapai Rp 3.000 triliun.

Pemilik dana besar

Kelihatannya tidak sulit mengajak pemilik dana besar di luar negeri untuk investasi di negara yang bisa memberikan ekspektasi keuntungan 15-20 persen rata-rata per tahun.

Yang sulit adalah menahan lebih lama dana-dana hedge fund asing itu di Indonesia dan menurunkannya pada sektor-sektor riil. Sebagai gambaran minimnya saluran antara pasar modal dan sektor riil dapat dilihat dari kapitalisasi pasar 14 BUMN yang sudah masuk bursa.

Lima BUMN besar di antaranya mencatat pertumbuhan kapitalisasi pasar luar biasa. Namun, rata-rata pertumbuhan kinerjanya ditopang oleh peningkatan ekonomi di sektor yang nontradable, artinya bukan pada sektor yang tidak menarik banyak lapangan kerja.

Dengan sedikit promosi di luar negeri, investor pasti tertarik pada Indonesia. Contohnya, PGN mampu memberikan kenaikan kekayaan negara (pemegang saham dominan) dari peningkatan kapitalisasi pasar Rp 1,4 triliun tahun 2003 menjadi Rp 57 triliun tahun 2009. Naik 1.300 persen.

Kondisi itu yang membuat permintaan atas instrumen investasi sangat besar. Ekonom PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo), Kahlil Rwoter, memperkirakan, tambahan cadangan devisa yang akan masuk ke Indonesia akhir tahun 2010 bisa mencapai 30 miliar dollar AS, yakni dari posisi 70 miliar dollar AS saat ini menjadi 100 miliar dollar AS akhir tahun 2010.

Jika kenaikan 30 miliar dollar AS itu separuhnya dialokasikan untuk investasi di pasar modal Indonesia, tidak akan ada cukup instrumen investasi yang mampu menampung permintaan asing tersebut.

Kecuali jika Kementerian Keuangan menerbitkan obligasi negara 100 persen dari anggaran belanja negara, yang ditetapkan Rp 1.104 triliun pada Rancangan APBN Perubahan 2010. Namun, itu tidak diperbolehkan publik.

Untuk menyalurkan dana dari pasar modal ke sektor riil, dibutuhkan upaya yang jauh lebih keras dibandingkan hanya dengan nondeal roadshow atau promosi ke Singapura.

Majalah The Economist (edisi 17-23 April 2010) dalam tajuknya menggambarkan bahwa keunggulan Jepang dan China dalam menarik investasi tidak sekadar menyediakan buruh murah, seperti yang diunggulkan Indonesia selama ini, tetapi juga kemampuan untuk berinovasi.

Jepang dan China semakin menarik karena mampu memberikan struktur industri yang langsing. Itu hanya dapat direaliasikan dengan cara mengembangkan kreativitas untuk menekan biaya produksi.

Roubini Global Economics, LLC, yang didirikan ekonom Nouriel Roubini dari New York University, mengingatkan, Indonesia masih bisa tetap menarik karena masih memiliki permintaan domestik yang besar. Namun, itu pun belum cukup. Indonesia juga perlu mengamankan pasokan energi dan meneruskan reformasi birokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar